Menu

BALI BIRDWATCHING RACE 2018 : Sebuah Kisah dan Petualangan.


Bali Birdwatching Race merupakan lomba pengamatan burung yang diadakan 2 tahun sekali oleh Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas Udayana bekerja sama dengan Taman Nasional Bali Barat. Tahun ini, Pelatuk BSC Unnes mengirim 6 perwakilan yang terbagi dalam 2 tim untuk ikut bersaing bersama 43 tim lainnya mengamati burung di satu-satunya taman nasional di Provinsi Bali ini.



Perjalanan panjang kami di mulai pada hari Kamis, 3 Mei 2018, pukul 8.00 WIB. Beberapa dari kami merelakan mata kuliah selama beberapa hari untuk ikut memperjuangkan konservasi burung di Indonesia. Dengan menaiki 2 Grab car (ini harus disebutin ya?), kami membawa diri dan seonggok barang-barang kamijuga 2 orang teman yang hendak melepas kamimenuju Stasiun Semarang Poncol. Tak lupa, kami berfoto untuk melihat perubahan apa yang terjadi setelah kami pergi ke Bali selama seminggu (masa?).

Keberangkatan kereta adalah jam 11, tentu saja kami berdoa terlebih dahulu untuk perjalanan yang aman sampai ke tujuan akhir kereta yaitu Stasiun Surabaya Pasar Turi pukul 16.27 WIB. Carrier-carrier kami memenuhi bagasi atas gerbong kereta, sampai-sampai memakan ruang dari yang seharusnya bukan milik kami karena posisi carrier yang kurang tepat. Kami menghabiskan waktu di kereta dengan tidur dan menyantap cemilan yang kami bawa. Dan saat mata sudah mulai muak terpejam dan mulut sudah mulai lelah mengunyah, kami menikmati pemandangan di luar kereta yang disinari matahari yang mulai meninggi.

Tak lupa kami mengabsen burung-burung yang terlihat. Melalui kawasan persawahan, kami banyak melihat Cekakak Jawa dan kuntul-kuntulan. Sangat menarik mengamati burung terbang dari dalam kereta yang bergerak, salah satu anggota kami yang masih newbie hanya bisa termangu dan mendengarkan karena matanya selalu kalah cepat dengan pergerakan burung.

Sampai di Stasiun Surabaya Pasar Turi, kami melaksakan ibadah sholat ashar dan dhuhur sebelum melanjutkan perjalanan.
Sampai akhirnya langkah kami terhenti di depan tulisan besar tanda ‘SURABAYA PASAR TURI’. Kami bingung hendak mengisi perut dimana. Lama-kelamaan, suasana mulai menggelap dan lampu-lampu mulai di nyalakan. Lalu terdengar adzan maghrib. Kami meluangkan waktu sekali lagi untuk sholat dan memutuskan mau kemana kami akan pergi setelah ini.

Hingga keputusan pun terambil. Kami melanjutkan perjalanan menuju Universitas Airlangga dimana kami diperbolehkan menginap di basecamp Pramuka dengan izin salah satu kenalan disana. Tak bisa dipungkiri, perut kami masih dalam keadaan kelaparan untuk mengakhiri hari Kamis itu. Setelah berkenalan dan berbincang sebentar, kami menanyakan tempat makan terdekat dan bergegas berangkat untuk memenuhi suara perut.

Namun karena memang kami berada di ‘rumah’ orang, kami merasa asing, bingung dan hilang. Kami berjalan meyusuri jalan raya tak bertrotoar untuk mencari warung makan. Namun langkah kami seperti tak berujung. Google maps pun hanya membantu menunjukkan lokasi, tidak meringkan langkah. (Saat itu kami bersyukur hidup di wilayah Unnes yang segalanya mudah dijangkau.)

Kami berakhir di sebuah kios pedagang kaki lima yang menjual nasi goreng. Dengan porsi yang cukup besar, akhirnya butir-butir nasi yang tersisa kami bungkus untuk cadangan hari esok.
Setelah kami membuka maps ternyata kami berjalan cukup jauh dari kampus. Kami pun kembali ke kampus Unair dalam 2 tim, yaitu tim jalan dan tim grab. Berakhir di Masjid Ulul ‘Azmi Unair, kami menikmati kantuk sejenak setelah melaksanakan sholat isya’ disana, berbincang-bincang untuk menghibur diri setelah mengalami perjalanan panjang dan berakhir di daerah orang.

Pukul 11 malam waktu setempat, mata kami mulai lelah, namun mulut masih ingin berbincang dengan si tuan rumah, untuk berterima kasih dan sekadar berbagi pengalaman.
Koleksi langit-yang-dilihat-sebelum-tidur kami pun bertambah.

***

Jum’at, dini hari pukul 3, kami mulai bergerak untuk menyusul kereta menuju Stasiun Gubeng Baru pukul 4.25 WIB. Bergerak sehalus kucing agar tidak membangunkan teman-teman, kami bersih diri dan mengepak kembali barang-barang kami.
Dari Universitas Airlangga ke Stasiun Gubeng Baru, kami menaiki 2 Grab Car dengan tambahan 1 personel, Mbak kenalan dari salah satu anggota kami saat ekspedisi, yaitu kenalan kami yang membantu kami mendapat izin menetap sementara di basecamp Pramuka Unair.

Beliau melepas kami di stasiun, kami juga berterima kasih atas bantuan dari teman-teman.
Dan sekali lagi kami berada di kereta, bersiap untuk 6 jam perjalanan panjang lagi menuju Stasiun Banyuwangi Baru. Dengan mengambil pengalaman dari perjalanan kereta sebelumnya, kami memosisikan carrier kami supaya efisien terhadap bagasi.

Tak salah lagi, kereta merupakan salah satu tempat dimana petualang dengan kisah mereka masing-masing bertemu. Salah seorang penumpang yang duduk bersebelahan dengan kami mengisi sisa-sisa perjalanan kami menuju stasiun dengan kisah hidup beliau. Bagaikan imbalan, kami diberi sebotol Pocari Sweat karena telah mendengarkan kisah bapak yang belum kami ketahui namanya. Sesederhana apapun kisahnya, pasti ada amanah yang bisa diambil.

Selain itu, radar-tas-carrier kami seperti memuncak saat menaiki kereta. Setiap melihat penggendong carrier pertanyaan semacam apakah mereka salah satu competitor kami, apakah mereka kader konservasi burung sepeti kami dan sejenisnya.

Stasiun Banyuwangi Baru menyambut kami dengan cucaca terik yang cukup menyengat. Mata kami merasa ragu untuk menerima cahayanya setelah menghabiskan 6 jam di dalam gerbong kereta yang adem.

Langkah pun terus berlanjut menuju supermarket terdekat untuk membeli air mineral dan konsumsi sebelum kami berganti ke wilayah WITA. Secara bergilir kami sholat di Masjid Abnais Sabil . Tak terlewatkan, kami makan siang di warung pecel supaya tidak mabuk laut.

Saat di supermarket, kami bertemu dengan dengan orang-orang penggendong carrier yang segerbong dengan kami saat di kereta tadi. Dan ternyata oh ternyata, mereka adalah salah satu tim yang juga hendak mengikuti BBR. Satu tim yang beranggotakan 3 orang dari FKH Unair. Kami berbincang dan mengenalkan diri seraya menunggu anggota lain yang sedang berbelanja.

Setelah tim Unair meninggalkan kami untuk menyebrang ke Bali duluan, kami beristirahat di teras supermarket sejenak, mengisi energy karena dari pagi hanya mengonsumsi makanan kecil. Saat akhirnya kami mulai bergerak kembali melangkah untuk makan siang, kami berpapasan dengan perwakilan peserta BBR dari KPB Nycticorax UNJ, namun kami tak sempat bercakap-cakap karena waktu terus berjalan mendekati penyeberangan kapal ke Gilimanuk.

Penyeberangan dari Pelabuhan Ketapang ke Pelabuhan Gilimanuk diiringi oleh matahari di puncaknya, memanasi kursi-kursi yang seharusnya menjadi tempat kami duduk. Kami pun mencari spot-spot yang tidak terkena panas matahari menggigit.



Beberapa anggota mulai menjelajahi geladak kapal untuk mencari latar belakang yang bagus untuk berfotojuga untuk menenangkan anggota yang mulai merasa mabuk laut. Selama kurang lebih 1 jam, kami hanya melihat warna biru laut dan langit, angin juga berhembus kencang karena kami berada di garis depan kapal dan lantai tiga kapal.

Kapal pun mulai menepi. Kami mengingat pesan salah satu anggota pelatuk untuk berdoa saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Bali. Setelah berjalan keluar pelabuhan, kami diberi informasi untuk menunggu mobil jemputan dari panita BBR. Kami pun mencari tempat teduh untuk duduk dan melepas dahaga.

Tak lama kemudian Kak Wisesa kembali menginformasikan kalau mobilnya sudah tiba. Kami bertujuh berjalan menuju ke mobil yang terlihat beberapa ratus meter di depan kami. Kak Wisesa tinggal di pelabuhan untuk menyambut peserta yang masih dalam perjalanan.
Perjalanan dari Gilimanuk ke campground Taman Nasional Bali Barat hanya memakan beberapa menit saja. Sampai di lokasi kurang lebih pukul 5 sore, kami melakukan presensi dan registrasi ulang.

***

Kami bergegas mendirikan tenda dan melakukan sholat ashar, sejenak kami lupa kalau kami sudah berada dalam wilayah WITA  sehingga tergesa-gesa dalam melakukan sholat ashar.
Kami tiba memang lebih telat dibandingkan tim lainnya jadi kami tidak mengikuti upacara pembukaan maupun bersih-bersih pantai. Sambil menunggu acara selanjutnya, kami menyantap konsumsi yang dibagikan oleh panitia.



Kami juga mengamati burung-burung disekitar kami dan tentunya kami menemukan Curik Bali. Mata kami terpukau dan perjalanan 2 hari kami serasa terbayar dengan melihat burung endemic Bali secara langsung. Selain itu kami juga melihat

Setelah mengikuti technical meeting sampai pukul 21.00 WITA, kami kembali ke tenda. Kami berembuk mengenai strategi apa yang akan kami gunakan untuk lomba keeseokan harinya. Namun pada akhirnya kami hanya menunggu mata lelah dan terpejam dengan sendirinya.

***



Seperti lomba pengamatan burung yang biasanya, setelah pengamatan burung ada kuis pengetahuan umum, tebak suara dan gambar. Sayangnya, kedua tim perwakilan Pelatuk BSC Unnes belum bisa membawa tropi kemenangan ke Semarang. Namun setidaknya kami termasuk dalam 10 tim terbaik dari 43 tim yang ikut serta dalam BBR 2018.

***



Perjalanan pulang pun tak kalah dramatisnya dengan perjalanan awal. Sebelumnya kami juga mampir di Pantai Karangsewu untuk melakukan pengamatan shore birds, agar tidak menyesal saat kami kembali ke Semarang. Kami berusaha menghibur diri dari fakta bahwa kami tidak mempunyai cukup dana untuk pulang wkwk…

Namun akhirnya kami sampai juga di Semarang. Dengan gejolak adrenalin karena kehabisan tiket kereta, maupun penantian bus yang bagasinya terus menerus penuh sehingga tak mampu menampung barang-barang kami.


Pada akhirnya, perjalanan ini bukan hanya sekadar jalan-jalan, tapi petualangan. 



artikel oleh : Nisa Adni
Pelatuk BSC Angkatan XII

Share This:

Post Tags:

Pelatuk Bird Study Club

Underbow di bawah HIMA yang bergerak dibidang konservasi burung

No Comment to " BALI BIRDWATCHING RACE 2018 : Sebuah Kisah dan Petualangan. "

  • To add an Emoticons Show Icons
  • To add code Use [pre]code here[/pre]
  • To add an Image Use [img]IMAGE-URL-HERE[/img]
  • To add Youtube video just paste a video link like http://www.youtube.com/watch?v=0x_gnfpL3RM